Berita

Puisi | 4 Puisi untuk Besipae

×

Puisi | 4 Puisi untuk Besipae

Sebarkan artikel ini

Ket Foto :

SUARA TTS.COM | SOE –

I. Besipae

Setiap kali hujan turun

kenangan itu kembali memenuhi dadamu:

padang memberikan tubuhnya untuk para gembala, hutan mempersilakan kau berburu, dan sungai sungai jernih menghapus bau keringat anak-anakmu.

tetapi kini hanya kenangan yang tersisa sejak anak-anakmu berburu rupiah di negri negri nun jauh. sebab di sini, kau tahu sendiri: buruan kehilangan hutan, anak anak kehilangan padang, dan sungai kehilangan jernihnya.

setiap kali hujan  turun

kau kenang lagi kejadian tempo hari

tetapi kau telah kehabisan banyak air mata.

Soe, Oktober 2022

II. Kepada Laki-laki Atoin Meto

Atas nama 91 helai daun ampupu, bisakah kau bersumpah untukku? jangan pernah pendam derita, 531 jiwa, Atoin meto di dadamu saja.

Maka lepaskan dia, biarkan dada ini merasa terhina lalu berontak. Kita telah berkaca pada sejarah, oleh karnanya kita tahu; sejarah kita adalah sejarah perlawanan.

Sebelum tarian perang itu berubah sebagai tarian penyambut tamu; tarian kita adalah tarian penuh kemenangan.

Maka tak usah kita menepuk dada sambil berlompa menjadi manusia paling sopan, lalu membiarkan para penindas itu merampas tanah kita sepetak demi sepetak.

Sesungguhnya, tanah dipantai selatan hingga di puncak Mutis itu bukan tak bertuan.

Bersumpahlah, disana dahulu tanah-tanah kita dihuni para usif dan meo; tak ada yang penakut sepertimu.

Kepada kau, laki-laki Atoin meto; harga diri kita adalah sama, menyatu pada tubuh perempuan, dan tersimpan dalam sejingkal tanah — tempat kita mengubur ari-ari dan kenangan.

Harga diri kita abadi, tak goyah di hantam lautan hingga topan dan bebatuan.

Maka begini seharusnya kita bertanya: Apakah sebanding harga diri kita dengan uang dan tambang? Apakah harga diri kita harus ditentukan oleh definisi kesejahtraan para penindas itu?

Maka begini jawabannya; jika sejahtera harus membiarkan tanah kita dirampas oleh para investor, maka tangkap aku sebagai pemberontak yang melawan karna pembangkangan.

Sungguh membangkang, lebih terpuji dari pada bersama pemerintah menumpas hutan adat, lalu menghina perempuan-perempuan pemberani tanpa merasa berdosa.

Jika sejahtra harus melalui belas kasihan pemerintah, harus meninggalkan tanah dan lumbung; maka tuduhlah aku sebagai provokator yang dicari.

Sungguh, menjadi provokator lebih mulia, dari pada bersama para pejabat menumpas hutan adat, lalu menuduh perlawanan perempuan sebagai tak berbudaya.

Kepada kau laki-laki Atoin meto; bukankah ayahmu adalah lelaki yang menyunting perbukitan? Maka padamu anak yang dibesarkan dari bukit dan sungai; jangan biarkan suaramu tersisih dengan harga diri yang tergadai.

Soe, September 2021

III. Tanah adat

Ke alamat rumahmu,

saya mengirim rindu dan doa

semoga sampai pada tujuan.

Karena tanah di desamu

adalah luka yang senantiasa menampung resah dan air mata

menyimpan lagu-lagu melankolis

dari tanah leluhur yang selalu tabah.

Oenasi, Januari 2022

 

IV. Perempuan Besipae

Pulanglah ke Amanuban

belajarlah tentang cara

perempuan Besipae menenun amarah

“Menelanjangi kepala manusia-manusia serakah dan harapan-harapan mereka”.

Soe, Oktober 2022

*Honing Alvianto Bana. Lahir di Kota Soe – Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif di komunitas Paloli TTS dan Komunitas Masyarakat adat (Pokja OAT).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *