Jakarta, CNN Indonesia —
Banyak orang yang menganggap bahwa nakal dan perilaku bully adalah dua hal yang berbeda. Tapi, tak sedikit juga yang menganggapnya sama.
‘Namanya juga anak-anak, wajar nakal sedikit’. Kalimat itu sering keluar saat kasus perundungan muncul, utamanya yang terjadi di lingkup sekolah. Perilaku bully dianggap wajar dan tak ubahnya kenakalan anak pada umumnya.
Dari sana, kita jadi bertanya-tanya, adakah batas wajar kenakalan anak? Bagaimana membedakan kenakalan biasa yang dianggap wajar oleh banyak orang dengan perilaku bully?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktisi psikologi anak usia dini Aninda mengatakan bahwa pada dasarnya, tak ada batas wajar bagi kenakalan anak. Anak yang nakal tetap harus diedukasi oleh orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Utamanya, jika kenakalan anak sampai memicu kekerasan.
“Jika yang dilakukan sudah mengganggu fisik orang lain, psikis anak lain, itu sudah kekerasan, sudah bullying,” kata Aninda saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (14/11).
Jika sudah sampai memicu kekerasan, maka tak ada satu pihak pun yang berhak mewajarkannya sebagai kenakalan anak-anak pada umumnya. Semua pihak harus mengakui bahwa apa yang dilakukan si anak adalah kenakalan yang menjuru ke perilaku bullying.
“Batasan-batasannya harus fair, karena sebenarnya, ya, tidak wajar juga mewajarkan kenakalan anak,” kata dia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh konsultan psikologi anak dari Kancilku Bernadette Cindy Leo. Ia menyebut bahwa apa pun bentuknya, tak ada kenakalan yang wajar. Nakal sendiri merupakan perilaku yang kurang sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku di lingkungan tersebut.
Jadi, jika perilaku anak mulai tak sesuai dengan norma, maka sudah masuk ke dalam tahap tidak wajar. Apa pun bentuknya, lanjut Bernadette, mewajarkan kenakalan anak adalah hal yang salah.
Infografis catatan kasus bullying di sekolah selama tiga tahun terakhir. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
“Jadi orang dewasa sangat tidak pas kalau mewajarkan hal-hal yang tidak sesuai norma. Kan, yang membuat aturan orang dewasa. Ketika si anak berperilaku yang tidak sesuai, ya, harus disalahkan, diedukasi bahwa mereka salah,” kata Bernadette saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Mentoleransi perilaku anak, terutama yang sudah menjurus ke arah bullying, bisa membuat anak merasa superior dan mendapatkan dukungan. Efeknya, lanjut Bernadette, mereka jadi tak merasa bersalah dan menganggap apa yang dilakukannya adalah benar, meski harus menyakiti teman-temannya.
Bernadette juga mengingatkan bahwa perilaku bullying terjadi karena berbagai faktor. Mulai dari pola asuh orang tua, aturan dan batasan yang ditetapkan di lingkungannya, pertemanan, hingga paparan media sosial.
Namun ia menegaskan bahwa akar semuanya tetap berada di keluarga, utamanya orang tua. Pasalnya pola asuh orang tua akan membentuk karakteristik si anak.
“Apakah anak ini jadi pem-bully, korban bully, atau justru bertindak normal dan baik-baik saja. Semua tergantung orang tua,” ujar Bernadette.
Bullying sendiri bukannya tidak bisa dihilangkan. Perilaku ini bisa dihilangkan tergantung pada konsekuensi yang diberikan terhadap pelaku. Bertindak tegas, baik itu orang tua, lingkungan sekitar hingga sekolah, adalah hal yang harus dilakukan.
Kerja sama antara sekolah dan orang tua juga penting untuk dilakukan. Jika dibutuhkan, kerja sama dengan profesional seperti psikolog juga bisa membantu.
“Jadi bukan dibiarkan dan menggunakan kata nakal itu wajar, tapi harus ditangani. Libatkan ahli mulai dari konselor hingga psikolog agar tahu akar masalah perilaku bully ini munculnya dari mana,” kata dia.
(tst/asr)
[Gambas:Video CNN]
Komentar