Jakarta, CNN Indonesia —
Kaki-kaki yang sebagian tak beralas itu sanggup wara-wiri melewati dua negara saban hari. Tinggal di wilayah tapal batas mungkin penuh keseruan, mampu melintas dua negara tanpa perlu merogoh kocek untuk membeli tiket pesawat terbang atau kapal.
Siang terik di Selasa (14/11), tujuh hingga sembilan anak-anak Papua Nugini itu menghabiskan siang bolong dengan bermain. Mereka gemar menyambut pendatang yang ingin menjajal pengalaman bepergian ke luar negeri, katakanlah, hanya dalam lima langkah. Semua itu bisa dijumpai di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sota, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Gapura kecil bertuliskan ‘Welcome to Papua New Guinea’ menjadi penanda pelintas sudah tidak lagi berada di Indonesia. Dapat dijumpai, sejumlah warga lokal Papua Nugini yang berjualan sarang semut atau tanaman dengan nama latin Myrmecodia tuberosa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanaman itu, kata mereka, ampuh menyembuhkan sejumlah penyakit ringan hingga meredakan pegal badan. Ada pula yang berjualan aksesoris seperti tas yang terbuat dari bulu burung Kasuari. Harga yang dibanderol sekitar Rp100 ribu per tas, dan mereka menerima Rupiah dengan senang hati.
Toh, uang tersebut nantinya digunakan mereka untuk membeli kebutuhan pokok di Pasar Sota yang berjarak sekitar 1 kilometer dari perkampungan mereka.
PLBN Sota menjadi penyambung hidup, rasanya tidak berlebihan. Di tapal batas timur Indonesia itu, benar, orang Papua Nugini menggantungkan kebutuhan perut mereka dari Indonesia.
Bahan pokok seperti beras, gula, dan bahan dapur lainnya lebih mudah mereka dapatkan di Sota, ketimbang di pusat kota negara mereka. Apabila tidak ada rupiah di kantong, mereka tak segan memilih barter alias tukar barang.
Kebetulan, dekat perkampungan mereka ada sungai yang bisa dijumpai ikan barramundi atau kakap putih. Mereka juga gemar berburu rusa, lalu dagingnya mereka jual ke Sota dengan kisaran harga Rp50 ribu per kilogram atau bisa barter dengan beras.
Silasianay (61) tak keberatan berbincang dengan kami. Ia berbahasa Indonesia dengan lancar, “Bisa tujuh bahasa,” katanya unjuk gigi. Selain berbahasa Inggris, Sila juga cakap berbahasa Melayu, Pidgin, Motu, dan dua bahasa daerah di sana.
Menurutnya, warga Papua Nugini yang masih berjarak sekitar 30 kilometer dari PLBN Sota, fasih berbahasa Indonesia. Namun untuk berbahasa sehari-hari dengan kerabat, mereka tetap menggunakan bahasa daerah.
Pilar Meridian Monument di PLBN Sota, Merauke, Papua Selatan. (CNN Indonesia/Khaira Ummah)
Mereka ternyata juga menyekolahkan anak-anak mereka ke Sota, pun berobat, hingga beribadah di hari Minggu. Bila ditanya mata uang pun, akunya, mereka lebih sering mengantongi Rupiah ketimbang Kina.
“Dari sakit, kita semua ke Indonesia karena paling dekat. Belanja semua ekonomi atau apa semua di dalam. Kalau di tempat sini, bersama-sama pakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,” ujar Sila.
Sila juga punya kerabat di Indonesia, mereka masih bersama dalam satu atap suku, Kanum, namanya. Apabila ada acara pernikahan hingga kematian, bisa hampir ratusan warga di Desa Wariaber berduyun ke Indonesia lewat PLBN Sota.
Hidup berdampingan dan rukun, Sila menyebut hal itu sebagai prinsip kehidupan mereka yang hidup di tapal batas. “Jadi kami ada satu suku, satu keluarga, satu bahasa, hanya beda negara,” kata dia.
Kepala Kampung Sota Simon Ndike (55) mengamini apa kata Sila. Mereka hidup dalam kerukunan dan saling membutuhkan. Frekuensi pelintas dari Sota ke Papua Nugini dan sebaliknya menurut Simon tidak jauh berbeda.
Apabila warga Papua Nugini berniat berdagang, membeli kebutuhan pokok, atau barter. Pun serupa, warga Sota terkadang berinisiatif untuk melakukan aktivitas jual beli atau barter ke negara tetangga, namun menurutnya mayoritas berkunjung ke saudara.
“Mereka biasa kasih rusa, nanti mereka tinggal cicil [bahan pokok] sesuai kebutuhan mereka,” kata Simon.
Simon juga menceritakan sejumlah kisah klise namun menggelitik, seperti kisah percintaan dua negara. Ketika warga Indonesia dan Papua Nugini memutuskan untuk menikah, maka mereka harus memilih salah satu kewarganegaraan.
“Sebelum menikah pilih itu, bisa di sini, bisa di sana, bebas mau yang mana itu,” bebernya sembari terkekeh.
Sembari menerawang sejenak, Simon menyadari PLBN Sota itu sebagai saksi bagaimana dua negara berdampingan dan berinteraksi dengan mengedepankan rasa kemanusiaan. Sebab, ia mengaku bersyukur, Sota masih mampu memberikan bantuan mulai akses kesehatan dan pendidikan kepada negara tetangga.
Ia mengatakan beberapa perempuan Papua Nugini yang tinggal di dekat PLBN Sota mengalami kesusahan terkait akses melahirkan. Tak sedikit juga, warga Sota yang meminjamkan atau memberikan transportasi seperti sepeda motor kepada mereka agar mempermudah dan mempercepat waktu saat melintas.
“Mereka punya sumber kehidupan ada di kita, di timur Indonesia ini sudah, daerah Papua kita ini. Jadi bukan saya mau berlebihan, tapi ini kenyataan, mereka kalau sudah tidak punya harapan, ada kita di sini,” ujar Simon.
Akses Kesehatan Atas Nama Kemanusiaan
Gerbang masuk Papua Nugini di belakang PLBN Sota, Merauke. (CNN Indonesia/Khaira Ummah)
Tenaga kesehatan di Puskesmas Sota Helena Ohoiwirin menyebut sejauh ini akses kesehatan di Sota sudah cukup mumpuni. Rujukan ke RSUD Merauke menurutnya hanya untuk penyakit berat, USG ibu hamil, atau operasi.
“Kita punya Puskesmas prototipe sudah bagus, tapi masih ada yang kurang, misalnya alat untuk pemeriksaan USG belum ada,” kata Helena.
Sementara penyakit ringan masih bisa mereka atasi. Dalam sebulan, mereka juga bisa melakukan 2-3 kali pemeriksaan kesehatan gratis, seperti cek tensi, kolesterol, gula darah, asam urat, dan juga pemberian obat. Kegiatan screening kesehatan itu salah satunya juga diinisiasi oleh BNPP di PLBN Sota.
Keluhan paling banyak mengalami ISPA, sementara Malaria kendati belum sampai eliminasi, namun kasus sudah menurun dari tahun ke tahun. Semua pemeriksaan kesehatan itu menurutnya hanya perlu menunjukkan Kartu Papua Sehat (KPS).
Namun ternyata tidak hanya untuk warga Sota, sejumlah pelintas dari Papua Nugini pun juga mereka layani, mereka tak pandang bulu demi kemanusiaan, begitu katanya. Pun sebagai syarat melintas, orang-orang negeri sebelah itu juga harus menjalani karantina alias cek kesehatan secara dasar.
“Ini masalah kemanusiaan. Karena di sana (Papua Nugini) akses kesehatan jauh, jadi mereka bisa berobat ke Sota, gratis,” ujar Helena.
Kepala PLBN Sota Ni Luh Puspa Jayaningsih juga berprinsip serupa atas dasar kemanusiaan yang lebih ditinggikan. Lantas, bagaimana Indonesia berkenan memberikan akses kesehatan gratis secara cuma-cuma kepada banyak kepala keluarga asli Papua Nugini yang tinggal di dekat PLBN Sota?
Ia mengatakan akses kesehatan yang diberikan secara gratis sementara ini masih berbasis pelayanan di Puskesmas. Caranya, warga Papua Nugini yang saling mengenal atau memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Sota akan ditulis sebagai anggota keluarga saat pemeriksaan, sehingga bisa gratis.
“Seharusnya kalau kita berobat ke luar negeri, kan bayar ya. Nah, tapi kalau mereka kan masih banyak saudara di sini, jadi itu yang oleh puskesmas masih dianggap orang lokal, jadi tidak perlu lagi bayar. Kecuali dia dirujuk ke rumah sakit kota yang itu harus bayar,” kata perempuan asli Bali yang biasa disapa Puspa itu.
Tidak hanya akses kesehatan, anak-anak Papua Nugini juga bisa mengenyam bangku pendidikan di Sota. Menurutnya ada kerja sama antar negara terkait hal itu. Namun masih ada sejumlah PR besar yang menanti. Puspa menyinggung soal urusan administratif seperti ijazah dan sebagainya.
“Kan mereka tidak ada data KTP dan KK yang dibutuhkan di sistem dapodik. Ini saya kemarin minta ke Disdik dan Dukcapil bagaimana ke depannya, ini PR kan ya,” kata dia.
Komentar