Jakarta, CNN Indonesia —
Pernah dengar sindrom nasi goreng atau fried rice syndrome? Seperti namanya, ini berhubungan dengan makanan yang sudah akrab dengan orang Indonesia, nasi goreng.
Dalam beberapa minggu terakhir, sebuah berita tahun 2008 muncul kembali di platform media sosial, menakuti pengguna tentang bahaya memakan sisa pati (karbohidrat) yang dipanaskan, terutama nasi dan pasta. Di TikTok, hal ini disebut sebagai “sindrom nasi goreng.”
Kenapa disebut sindrom nasi goreng? Pasta dan nasi sama-sama sumber karbohidrat dan mengandung pati. Pati yang diolah dan dipanaskan kembali dianggap mirip seperti olahan nasi goreng yang dibuat dari nasi sisa semalam dan diolah lagi menjadi makanan hangat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini awalnya diterbitkan dalam Journal of Clinical Microbiology, dan berfokus pada seorang mahasiswa Brussel yang meninggal setelah ia mengonsumsi sepiring spageti yang dipanaskan kembali setelah lima hari, kemudian dimakan.
Hal ini tentunya jadi pertanyaan, memangnya berbahaya makan spageti yang dihangatkan atau pun karbohidrat yang dipanaskan dan diolah kembali? Berapa lama makanan bisa dibiarkan dan dimakan kembali? Apakah lebih aman memakan sisa makanan dari lemari es?
Apa itu ‘sindrom nasi goreng’?
Dalam kasus mahasiswa Brussels, penyakit yang dideritanya adalah keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri Bacillus cereus.
Ellen Shumaker pakar keamanan pangan dan direktur penjangkauan program Safe Plates di North Carolina State University mengungkapkan bahwa bakteri ini ditemukan di seluruh lingkungan dalam bentuk spora yang tidak aktif, mikroorganisme ini biasanya tidak menyebabkan penyakit.
Organisme ini tidak berkecambah dan sering terlihat di tanah dan makanan bertepung (sekali lagi, seperti nasi atau pasta). Menurut Shumaker, penyakit ini sebagian besar dikaitkan dengan nasi, dari situlah nama sindrom itu berasal.
Setelah matang, jelas sang ahli, spora dapat berkecambah, menjadi aktif, dan mulai menghasilkan racun.”Memakan racun itulah yang membuat orang sakit,” kata Shumaker.
“Spora organisme berkecambah sebagai respons terhadap panasnya masakan,” kata Donald Schaffner, seorang profesor dan spesialis penyuluhan ilmu pangan di Rutgers.
“Organisme ini bertahan dalam proses memasak dan kemudian tumbuh dengan cepat dalam makanan yang tidak didinginkan dengan benar.Ketika organisme mencapai konsentrasi yang relatif tinggi (ratusan ribu atau jutaan organisme), organisme tersebut dapat menyebabkan penyakit melalui infeksi atau pembentukan racun yang tahan terhadap panas.Ketika orang menelan organisme atau racun tersebut, mereka menjadi sakit.”
Spora umumnya berkecambah saat makanan dimasak pada suhu yang didefinisikan Shumaker sebagai “zona suhu bahaya”, antara(atau 4 – 60 derajat celsius).
“Untuk menghindari pertumbuhan bakteri, disarankan untuk menjauhkan makanan dari kisaran suhu ini selama lebih dari empat jam,” ujarnya dikutip dari Huffington Post.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun proses perkecambahan mungkin dimulai selama waktu memasak, proses ini terus berlanjut selama makanan disimpan pada suhu kamar.
Setelah dimasak, makanan menjadi matang untuk perkecambahan spora – kecuali jika makanan tersebut segera dimasukkan ke dalam lemari es, yang akan menghentikan perkembangbiakan bakteri aktif.
“Rekomendasi yang masuk akal secara umum adalah membiarkan makanan matang pada suhu kamar tidak lebih dari dua jam,” kata Schaffer.”Jika makanan yang dimasak segera disimpan di lemari es, itu berarti organisme tersebut tidak akan berkembang biak ke tingkat yang berbahaya.”
Apa saja gejala keracunan makanan ini?
Secara umum, gejala “sindrom nasi goreng” mirip dengan gejala yang terlihat pada keracunan makanan jenis lain (muntah, diare, mual, kram perut, dan sejenisnya).
Namun, tidak seperti bakteri lain yang menyebabkan keracunan segera setelah dikonsumsi, bakteri Bacillus cereus dapat menimbulkan reaksi 30 menit hingga 5 jam setelah konsumsi, kata Shumaker.
“Diare bisa muncul 8 hingga 16 jam setelah makan makanan yang terkontaminasi,” ungkapnya.
Meskipun tidak ada obat yang harus diminum ketika mengalami sindrom ini, cara terpenting untuk tetap sehat dan melawannya, kata para ahli, adalah dengan tetap terhidrasi.
Dalam kasus yang parah, ketika muntah dan diare berlangsung berjam-jam, disarankan untuk mencari pengobatan di fasilitas perawatan darurat, di mana tenaga profesional kemungkinan besar akan memberikan cairan untuk membantu mengatasi dehidrasi.
Karena penyakit Bacillus cereus disebabkan oleh racun dan bukan bakteri, antibiotik, yang secara khusus menyerang organisme seperti bakteri, tidak akan membantu situasi ini, kata Shumaker.
(chs)
[Gambas:Video CNN]
Komentar