oleh

TURBULENSI “HASRAT vs SELERA

Oleh :Sabri Hidayatullah

 

*Manusia Dua Dunia*

Tahap penting dalam kehidupan manusia ialah melihat dirinya sebagai bentuk pemahaman diri yang selalu mengambil jarak dengan orang lain. Manusia hidup didalam struktur dan kultur yang berlaku sebagai salah satu unsur berperilaku. Manusia selalu menaruh kecurigaan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dimaknai kemudian akan membentuk dirinya setelah menginternalisasikan kecurigaan tersebut kedalam pemahaman diri.

Manusia selalu masuk dari dunia konkret ke dalam dunia yang disarankan oleh pembaca dan penafsir. Bentuk _Apropriasi_ tersebut berlangsung berdasarkan proses peleburan yang manusia lalui. *Gadamer* menggunakan istilah peleburan cakrawala-cakrawala (fusion of horizons) untuk menyebut pertemuan dua dunia atau sering lebih dari sekedar dunia. Pertemuan ini berlangsung setiap dalam keseharian manusia beraktivitas. Misalnya kita sedang membaca buku, pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks secara keseluruhan dan meninggalkan dunia aktual yang dihayatinya sekarang, sehingga kita tidak membiarkan dunianya tetap dan tidak sekaligus menolak dunia yang ditawarkan teks. Kita mulai memikirkan dan bahkan berbicara sendiri dengan dunia teks agar terinternalisasi yang kemudian diterjemahkan kepada orang-orang ketika sedang berbicara tetapi tidak sekaligus melupakan dunia aktual kita.

Setelah kita menginternalisasikan dunia teks kedalam memori kita, kemudian disimpan sebagai sebuah sarana berdialog dengan orang lain, maka kita akan memasuki apa yang dikatakan oleh *Ricoeur* sebagai suatu bentuk _transfigurasi_ (Mimesis III). Transfiguras terjadi berkat pengaruh teks yang dibaca dan dihayati, kemudian mengubah dirinya atau membantu dirinya untuk memahami dirinya sendiri dengan baik.

 

*Transfigurasi I-materi*

Yang dimaksud dengan transfigurasi I-materi adalah, manusia memandang dunia terluar dari dunia aktual dirinya sebagai suatu kecurigaan karena ketidaksesuaian antara ide yang dipunyai dan realitas yang ditempati. Misalnya bentuk narasi yang mengarahkan pada pemaknaan bahwa Tuhan adalah pelaku utama sejarah keselamatan manusia, atau bentuk _prophetie_ yang mengarah pada pemaknaan Tuhan sebagai yang mengancam, tetapi sekaligus yang memberi janji dibalik kehancuran didepan mata. Tuhan dimaknai secara tidak konsisten oleh manusia, karena Tuhan sendiri yang berjanji pada manusia bahwa akan terjadi kehancuran. Orang termakan oleh dunia teks yang menyimpang, akan menggambarkan Tuhan penuh kecurigaan. Akibatnya, ia akan membentuk “Dunia Baru” yang diisi oleh berbagai penafsiran. Seperti peristiwa pembakaran Kitab Suci suatu agama, merupakan sebagain kecil peristiwa yang menggambarkan tindakan manusia akibat tidak mampu membendung dunia teks dan mengabaikan dunia aktualnya sebagai manusia. Dunia teks yang dimaksud adalah tentang teks yang dibaca dan berisikan kebencian, ketakutan. Dalam proses menaruh kecurigaan ini hingga membentuk tindakan melalui pemaknaan diri ini, seseorang akan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri yang merupakan prasyarat mutlak bagi dirinya agar tidak terjadi distorsi makna akan dirinya dan agar dapat merelativisir penafsiran orang lain yang jauh lebih baik dan benar dari dirinya. Pengambilan jarak ini selain aspek kritis atau negatif bahkan bersifat kreatif berdasarkan masuknya dirinya ke dalam dunia teks tadi, secara langsung akan memperkaya dan memurnikan pemahaman dirinya yang kemudian membentuk dirinya sebagai seorang pribadi pembenci, periang, pemalas, pemalu dan lain sebagainya.

 

*Kejujuran dalam Hasrat*

Hasrat seseorang terhadap hal yang berkenaan dengan dirinya akan menopang dirinya sebagai pribadi yang jujur. Kejujuran bukan hanya tentang hal positif, akan tetapi kejujuran bisa termuat dalam Hasrat dirinya sebagai seorang pembenci, pemalu, pemalas, dan lain sebagainya sesuai dengan proses internalisasi dunia teks yang membentuk tindakannya.

*Neitzsche* mengganggap bahwa hanya dalam kejujuran dan kemampuan mengontrol diri, pemahaman yang benar terhadap hasrat diri akan menjadi sebuah kekuasaan. Namun, kejujuran dalam hasrat tersebut, tak dapat dapat dipungkiri bahwa hadir karena dimensi perspektivisme. Perspektivisme adalah apa yang dianggap riil atau kebenaran tergantung pada perspektif yang dipilih. Tidak ada kebenaran dalam dirinya sendiri, tidak ada kebenaran mutlak, dan tidak ada makna tunggal. Pilihan perspektif tadi tergantung pada nilai, tujuan, kepentingan yang diistimewakan oleh seseorang.

*Freud* yakin bahwa pada realitas bawah sadar yang hanya bisa dipahami oleh seseorang melalui fenomena yang sulit dimengerti sebagai bahasa hasrat. Bahasa hasrat akan mempertanyakan semua bentuk pend-Aku-an karena semua makna akan dipertanyakan. Maka dari itu, penafsiran bukan hanya ingin mengoreksi kesadaran dan kekeliruan tertentu yang dibahas panjang lebar oleh *Ricoeur* dalam bukunya _Le conflict des interpretations._***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *