oleh

Pernikahan Sesama Pria Di Myanmar

Untuk kali pertama di Myanmar, pasangan gay secara terbuka mendeklarasikan hubungan mereka.
Pasangan itu merayakan hari jadi mereka yang kesepuluh dengan sebuah pesta di Yangon awal bulan ini.  Media lokal memberitakan pesta ini, sehingga rumor soal adanya pernikahan gay pertama di Myanmar dengan cepat menyebar.
Beberapa orang melihat pengumuman itu sebagai langkah besar bagi komunitas Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender (LGBT). Namun berita itu juga memicu kemarahan masyarakat.
Tin Ko Ko dan Myo Min Htet sudah tinggal bersama selama 10 tahun. Mereka hidup selayak pasangan lain; memasak bersama dan berbincang tentang hari-hari mereka.
Awal bulan ini, sebuah pesta mewah di Yangon digelar sebagai perayaan hari jadi hubungan mereka yang kesepuluh. 
Mereka hanya mengundang keluarga dan teman-teman, tapi dalam beberapa jam kabar tentang perayaan ini beredar di media sosial dan media lokal memuat kisah mereka. Foto-foto mereka muncul di halaman depan berbagai surat kabar nasional.
Nama mereka bahkan disebut dalam jurnal Wall Street.
Tin Ko Ko mengatakan ada kesalahpahaman.
“Ini menyedihkan. Cerita itu dimuat tanpa izin. Dan ada banyak kesalahan. Kami merayakan ulang tahun kesepuluh, bukan mengadakan pernikahan.”
Ini kali pertama pasangan gay secara terbuka menyatakan hubungan mereka. Dan ini menimbulkan polemik.
Beberapa orang menganggap hubungan mereka tidak alami, tapi yang lain menganggap ini langkah besar bagi komunitas LGBT.
Di Myanmar hanya sodomi yang melanggar hukum, bukan homoseksual. Dan berdasarkan hukum, beberapa tindakan heteroseksual juga ilegal.
Di sebuah konferensi pers, Aung Myo Min seorang aktivis hak-hak LGBT menilai hukum itu punya kelemahan.
“Hukum itu sendiri memiliki kelemahan. Termasuk memuat tindakan perempuan dan ini juga mengancam kami. Sebenarnya tidak ada hukum yang menentang homoseksualitas.”
Jika bersalah, pelakunya bisa dipenjara selama 10 tahun.
Setelah pesta Tin Ko Ko dan Myo Min Htet, berhembus kabar kalau mereka diperiksa polisi.
“Sebenarnya, mereka tidak mewawancarai kami dan polisi tidak mengambil tindakan apapun terhadap kami. Mereka mendapat informasi dari Facebook. Polisi dari kantor distrik barat sudah menyatakan kalau mereka tidak pernah membawa dan memeriksa kami,” ujar Tin Ko Ko.
Pada kenyataannya, mereka tidak bermasalah dengan polisi.
 “Setelah pesta ulang tahun usai, dia pergi bekerja dan saya juga melakukan tugas saya. Tidak ada masalah.”
            Tin Ko Ko adalah anggota kelompok pembela hak LGBT bernama ‘Kings & Queens.’ Sementara Myo Min Htet bekerja di sebuah organisasi yang membantu para LGBT mendapatkan layanan kesehatan.
Meski mereka bekerja untuk komunitas itu, perayaan ulang tahun kesepuluh itu bukan untuk mendapatkan perhatian internasional agar dapat mengadvokasi hak-hak LGBT.
Kami saling menyayangi dan saling membantu. Kami seperti keluarga. Dan kami menikmatinya. Itu saja.”
Tidak ada perlindungan hukum bagi orang-orang LGBT di Myanmar. Mereka menghadapi diskriminasi sosial secara luas dan juga penganiayaan polisi.
Teman Tin Ko Ko bernama Ngel Ngel adalah seorang ahli kecantikan ternama di Yangon. Dulu selama bertahun-tahun cara berpakaiannya selalu diejek teman-temannya. Dia pergi dari rumah karena tidak tahan dengan sikap ayahnya.
 “Di sekolah mereka mengatakan anak laki-laki harus berlaku seperti anak laki-laki dan juga perempuan harus berprilaku seperti anak perempuan. Mereka percaya kalau kami ini menentang alam. Saya ingin hidup dengan cara saya sendiri, jadi saya harus melawan mereka semua.”
Tapi Ngel Ngel melihat kalau pandangan terhadap komunitas LGBT secara perlahan mulai berubah.
“Di masa lalu, semua orang menyalahkan kami. Sekarang, orang-orang mulai memahami dan memberi dorongan pada orang-orang seperti saya.”
Setelah pesta mewah mereka dan pemberitaan media, Tin Ko Ko dan Myo Min Htet hanya ingin kembali hidup seperti biasa.
“Seperti sepuluh tahun terakhir, kami akan mencoba untuk memahami satu sama lain. Kami akan membangun pemahaman di antara kami,” ujar Tin Ko Ko.
“Saya khawatir akan ada dampak dari apa yang kami lakukan. Orang-orang memperhatikan kami. Mereka mempertanyakan bisakah kami berhasil seperti pasangan lain,” tambah Myo Min Htet.
 (**)
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program berita radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Kupang Online menyiarkan seluruh artikel yang dikirimkan pihak KBR68H kepada redaksi Kupang Online dengan Resmi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *